Zaman Prasejarahku (Bagian 1)

Ki-ka: Trisno (Jepara), Roni (Pemalang), Agus (Brebes), Herman (Pekalongan)
Aku / Ahmad Fata (Kebumen) dan fotografer Sigit (Purwodadi)
Kata orang isi otak seseorang terkadang dapat dilihat dari tutur bicara serta tindak tanduknya. Mungkin karena memang isi otakku hanyalah sampah sehingga yang keluar ujung-ujungnya ya hanyalah sampah semacam ini. He..he .. langsung saja yah,

Sahabat, mozaik kali ini aku akan kisahkan secuil kisahku, tentunya sejauh yang masih bisa kuingat.

Aku lahir dan dibesarkan di sebuah kecamatan pinggiran Kabupaten Kebumen. Menurutku tak terlalu ramai sih, namun kota kecamatanku kurasa cukup dikenal oleh orang-orang Kebumen (atau mungkin hanya ke pe de anku saja he..he..). Hingga usiaku saat ini, aku adalah anak kedua dari empat bersaudara. Sulung dan bungsunya perempuan sedang aku dan adikku laki-laki yang di tengah. Jika di pelajaran bahasa Jawa SD dulu namanya apa yah? sendang kapit pancuran atau apa yah ...

Bapak dan ibuku asli Kebumen dan masih sekecamatan, hanya bertetangga desa saja. Katanya dahulu mereka menikah secara dijodohkan, jaman sekarang masih ada tidak yah  yang menikah dengan cara dijodohkan?.

Hingga sejauh saat ini aku belum pernah mendengar bahwa dahulu bapak sempat berpacaran dengan ibuku.

Yang terkadang agak sulit kubayangkan adalah bagaimana perasaan ibuku saat awal menikah, sebab menurut ceritanya saat itu ibuku dijemput dari sekolahnya dan sesampai di rumah ternyata sudah ada orang utusan keluarga seorang "perjaka tangguh" yang ternyata bermaksud meminangnya. Bisa tidak sahabat membayangkannya? he..he... apalagi menurut penuturan teman-teman sekelas ibuku, dahulu beliau adalah bintang kelas (nah lho ... bintang kelas menikah gasik. Ah, bapakku memang ... mmm .... tapi jika tak seperti ini mungkinkah aku akan terlahir? Wallohu A'lam)

Sekolah ibuku memang persis berhadapan muka dengan rumah si perjaka tangguh yang kini menjadi bapakku. Mmm ..mm ... mungkin saja si perjaka tangguh itu suka curi-curi pandang ke ibuku dan teman-temannya yah. Lho kok? Yah karena memang bapakku tak satu sekolah dengan ibuku, ditambah lagi selisih usia mereka berdua kurasa cukup jauh juga (tak sampai puluhan tahun sih).

Tentang bapakku, tak cukup banyak yang kutahu. Bukan karena aku tak dekat dengan beliau lho ... (maaf nggih pak... he...he...). Kurasa berdasarkan bukti otentik pernikahan mereka berdua, menurutku bapakku cukup ganteng juga dengan kumisnya yang tak tebal juga tak tipis.

Saat bapak menikahi ibuku, usianya baru sekitar 24 tahun. Itu pulalah yang menjadi patokanku dulu saat berangan-angan kapan aku akan menikah. Meski akhirnya aku tak mampu mematahkannya, karena aku baru menikah di usia 27 tahun. Sahabat mau nikah di usia berapa nih? (Buat si pemuda, jangan lupa untuk menimbang dulu kemampuannya untuk memberi nafkah istri lho ...)

Saat awal menjalani kehidupan berkeluarga bapak dan ibuku sempat berdagang beras meski kabarnya tak lama. Setidaknya hingga aku mampu mengingat masa kecilku, tak ada secuilpun kenangan bapak serta ibuku berjualan beras. Dan layaknya keluarga muda, maka mendapatkan subsidi dari kakek dan nenekku adalah sangat wajar.

...

(Bersambung di kisah lain - Semoga)

Pelajaran yang mungkin bisa kuambil dari kisah bapak dan ibu tersebut diantaranya:

1. Sekali lagi pembuktian bahwa untuk membina keluarga yang utuh tak selamanya harus melewati masa penjajagan (baca: pacaran)

Tak ada jaminan, masa penjajagan akan semakin mengokohkan ikatan keluarga yang akan terbentuk nanti saat telah menikah. Sudah banyak sekali contohnya apalagi jika kita melihat tayangan beberapa selebriti di televisi.

Bahkan terkadang pacaran bisa membawa dampak yang tak baik seperti kehamilan di luar nikah, zina dan sebagainya.

2. Tak selamanya perhitungan matematika berlaku dalam kehidupan rumah tangga.

Beberapa orang merancang masa depannya dengan cukup "njlimet". Misalkan baru akan menikah jika sudah mempunyai penghasilan tetap per bulan sebesar sekian. Hal tersebut karena menurut perhitungannya dengan penghasilan sebesar sekian tersebut mampu mencukupi kebutuhan keluarga yang mungkin akan muncul nanti.

Bagus sih, tapi tak selamanya itu berlaku dalam berumahtangga. Berumah tangga itu adalah ibadah (he ..he..), dan itu adalah sebuah kebaikan yang niscaya Alloh SWT akan membantu setiap hambanya yang berusaha dalam kebaikan.

Meskipun demikian, bagi laki-laki dianjurkan untuk menimbang kemampuannya dalam hal memberi nafkah nanti. Dan jika dirasa ia belum mampu, maka ia dianjurkan untuk berpuasa.

Jadi bagaimana dong?

3. Berkeluarga bagi beberapa orang "terkadang" juga adalah sebuah pengorbanan.

Sahabat, coba bayangkan andai sahabat saat ini mengalami seperti yang dialami ibuku. Pagi hari sekolah biasa dan main bersenang-senang bersama teman-teman, eh tiba-tiba dijemput pulang dan ternyata karena hendak dinikahkan. Hemh .... andai itu terjadi dan dialami anak jaman sekarang, sanggup tidak yah?

Oleh sebab itu penghargaan dan penghormatan kepada pasangan kita nanti harus menjadi pedoman. Sesekali (jika tak bisa selalu) cobalah melihat, bahwa pasangan kita ketika ia memutuskan mau untuk menikah dengan kita sebenarnya ia telah berkorban banyak untuk kita.

Jika hal ini menjadi pedoman, maka diharapkan tak kan terjadi pertikaian yang berkepanjangan dalam berumahtangga yang akhirnya bisa berujung pada perceraian.

Hemh ... semoga bermanfaat dan maaf kisahnya kurang menarik yah.

Terimakasih telah menyempatkan diri untuk mampir di blogku ini, dan aku akan sangat berterima kasih jika tulisanku dalam blog ini dikomentari

Post a Comment

Terimakasih telah menyempatkan diri untuk mampir di blogku ini, dan aku akan sangat berterima kasih jika tulisanku dalam blog ini dikomentari

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post